Sabtu, 16 Februari 2008

WUDHU DAN TAYAMUM

1.TA’RIF HUKUM DAN KEUTAMAANNYA

Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara khusus. Kewajibannya ditetapkan dengan firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Dan hadits Nabi: “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantaramu jika berhadats sehingga berwudhu.” HR. As Syaikhani.

Abu Hurairah ra telah merilis tentang keutamaan wudhu. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan? Mereka menjawab: Mau Rasulullah. Sabda Nabi: Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah shalat, itulah ribath, itulah ribath itulah ribath . HR Malik, Muslim, At Tirmidziy dan An Nasa’iy

2. FURUDHUL WUDHU
• Membasuh muka, para ulama membatasinya mulai dari batas tumbuh rambut sampai bawah dagu, dari telinga ke telinga.
• Membasuh kedua tangan sampai ke siku; yaitu pergelangan lengan
• Mengusap kepala keseluruhannya menurut Imam Malik dan Ahmad, sebagiannya menurut Imam Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy
• Membasuh kedua kaki sampai ke mata kaki, sesuai dengan sabda Nabi kepada orang yang hanya mengusap kakinya: “Celaka, bagi kaki yang tidak dibasuh, ia diancam neraka”. Muttafaq alaih

Empat rukun inilah yang tercantum dengan tekstual dalam ayat wudhu (QS. 5:6) ditambah dengan:
1. Niat menurut Imam Syafi’iy, Malik dan Ahmad sesuai dengan sabda Nabi: Sesungguhnya semua amal itu tergantung niat…”Muttafaq alaih. Dan untuk membedakan antara ibadah dari kebiasaan. Dan tidak disyaratkan melafalkan niat. Karena niat itu berada di hati
2. Tartib, berurutan: yaitu dimulai dari membasuh muka, tangan, mengusap kepala, lalu memabasuh kaki. Hal ini sunnah hukumnya menurut Abu Hanifah dan Malikiyah.

3. SUNNAH WUDHU
a. Membaca Basmalah, yang menjadi sunnah dalam memulai semua pekerjaan, juga sesuai dengan sabada Nabi: “…berwudhulah dengan menyebut nama Allah…” HR Al Baihaqi
b. Bersiwak, sesuai dengan sabda Nabi: “Jika tidak akan memberatkan umatku maka akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” HR. Malik, Asy Syaf’iy, Al baihaqi, dan Al Hakim. Disunnahkan pula bersiwak itu bagi orang yang berpuasa juga seperti dalam hadits Amir bin Rabi’ah ra berkata: Aku melihat Rasulullah saw tidak terhitung jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.”HR Ahmad, Abu Daud, At Tirmidziy. Menurut Imam Syafi’iy bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh.
c. Membasuh dua telapak tangan tiga kali basuhan di awala wudhu, sesuai hadits Aus bi Aus Ats Tsaqafiy ra berkata: Aku melihat Rasulullah saw berwudhu dan membasuh kedua tangannya tiga kali”. HR Ahmad dan An Nasa’iy
d. Berkumur, menghisap air ke hidung dan menyembrukannya keluar. Terdapat banyak hadits dalam hal ini. Sunnahnya dilakukan dengan berurutan, tiga kali, menggunakan air baru, menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan menymburkannya dengan tangan kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam keadaan puasa.
e. Mensela sela jenggot dan jari. At Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas ra.
f. Mengulang tiga kali basuhan. Banyak sekali hadits yang menerangkannya
g. Memulai dari sisi kanan sebelum yang kiri, seperti dalam hadits Aisyah ra. “Rasulullah saw sangat menyukai memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan semua aktifitasnya.” Muttafaq alaih
h. Menggosok, yaitu menggerakkan tangan ke anggota badan ketika mengairi atau sesudahnya. Sedang bersambung artinya terus menerus pembasuhan anggota badan itu tanpa terputus oleh aktifitas lain di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak hadits. Menggosok menurut madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang terus menerus termasuk dalam rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
i. Mengusap dua telinga, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At Thahawiy dari Ibnu Abbas, dan Al Miqdam bin Ma' di Kariba
j. Membasuh bagian depan kepala, dan memperpanjang basuhan di atas siku dan mata kaki. Seperti dalam hadits Nabi: Sesungguhnya umatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan putih berseri dari basuhan wudhu”.
k. Berdo’a setelah wudhu, seperti dalam hadits Ibnu Umar ra. Rasulullah saw bersabda: Tidak ada seorangpun di antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian berdo’a:
أَشهَدُ أَنْ لَا إله إلّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوله

Aku Bersaksi bahwasannya tiada Tuhan yan berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk dari mana saja. HR. Muslim.
l. Shalat sunnah wudhu dua rakaat, seperti dalam hadits Uqbah bin Amir ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadap wajah dan hatinya maka wajib baginya surga. HR Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah.
2. Sedangkan do’a ketika berwudhu, tidak pernah ada riwayat yang menerangkan sedikitpun


4. CARA WUDHU

Dari Humran mantan budak Utsman bin Affan ra. Bahwasannya Utsman minta diambilkan air wudhu, kemudian ia basuh kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur, menghisap air ke hidung, menyemburkannya, lalu membasuh mukanya tiga kali, membasuh tangan kanannya samapai ke siku tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai ke mata kaki tiga kali, dan yang kiri sepertiitu. Kemudian Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat, maka akan diampuni dosanya. Muttafaq alaih.

5. YANG MEMBATALKAN WUDHU

Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madziy, atau wadi) kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah: … atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, ….. (QS. Al Maidah: 6) dan sabda Nabi saw: “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu”. Muttafaq alaih. Hadats: adalah angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzy adalah karena sabda Nabi saw: wajibnya wudhu. Muttafaq alaih. Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas: Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat. HR AL Baihaqi, dalam As Sunan.

Perkara yang membatalkan wudhu tersebut antara lain;

a. Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal ra berkata: Rasulullah saw pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub. HR. Ahmad, An Nasa’iy, At Tirmidzi dan menshahihkannya. Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini terantum dalam hadits Anas ra, yang diriwayatkan oleh Asy Syafi’iy, Muslim, Abu Daud: “Adalah para sahabat Rasulullah saw pada masa Nabi menunggu shalat isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
b. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.

Dua hal ini disepakati sebagai pembatal wudhu, dan mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:
a. Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’iy, dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah ra bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” HR. Al Khamsah dan disahihkan oleh At Tirmidziy dan Ibnu Hibban. Al Bukhariy berkata: Inilah yang paling shahih dalam bab ini. Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.
b. Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah ra Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah….mak berpaling dan berwudhulah..” HR. Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan Al Baihaqi. Dan menurut Asy Syafi’iy, dan Malik bahwasannya keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kokoh menurutnya, juga karena hadits Anas ra: “Bahwasannya Rasulullah saw dibekam dan shalat tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tetapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al Hasan berkata: “Kaum muslimin melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka”. HR Al Bukhariy.

c. Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’: ” Bahwasannya Rasulullah saw muntah lalu berwudhu. Ia berkata: Kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab: “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya. HR At Tirmidziy dan mensahihkannya. Demikiamlah madzhab Hanafiy. Dan menurut Syafi’iy dan Malik bahwa muntah tidak membatalkan wudhu, karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai Istihbab/sunnah.

d. Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Syafi’iyah, karena firman Allah: QS. Al Maidah:6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama, karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits Aisyah ra: “Bahwasannya Rasulullah saw mencium isterinya, kemudian shalat tanpa berwudhu”. HR. Ahmad dan imam empat. Juga ucapan Aisyah ra: “Saya tidur di hadapan Rasulullah, dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia memindahkan kakiku.” Muttafaq alaih. Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini, apakah wanita itu isterinya atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram maka tidak membatalkan wudhu.

e. Tertawa terbahak ketika shalat yang ada ruku dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut madzhab Hanafi, karena ada hadits: …..kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya. Sedang menurut jumhurul ulama tertawa terbahak-bahak membatalkan membatalkan shalat tetapi tidak membatalkan wudhu, karena hadits tersebut tidak kokoh dalam hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi: “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu”. Demikian imam AL Bukhariy mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.

f. Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi menyatakan: “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu du perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati aroma. HR Muslim, Abu Daud dan At Tirmidziy. Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum maka ia wajib berwudhu sebelum shalat.


6. KAPAN WAJIB ATAU SUNNAH WUDHU
a. Wajib berwudhu:
• Untuk shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah: “…jika kamu mau shalat maka hendaklah kamu basuh…” QS. Al Maidah: 6
• Thawaf di ka’bah, karena hadits Nabi: “Thawaf adalah shalat…”. HR At Tirmidziy dan Al Hakim
• Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi Muhammad saw: “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” HR. An Nasa’iy dan Ad Daru Quthniy. Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.

b. Sunnah berwudhu
• Ketika dzikrullah. Pernah ada seseorang yang memberi salam kepada Nabi yang sedang berwudhu, dan Nabi tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya. Dan bersabda: Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” HR Al Khamsah, kecuali At Tirmidziy
• Ketika hendak tidur, seperti hadits Nabi: Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat…”. HR Ahmad, Al Bukhariy dan At Tirmidziy
• bagi orang junub yang hendak makan, minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan dari Rasulullah saaw oleh AL Bukhari, Muslim dan muhadditsin lain.
• Disunnahkan pula ketika memulai mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah ra.
• Disunnahkan pula memperbaharui wudhu setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, Muslim dan kebanyakan ulama hadits.

7. MENGUSAP AL KHUFF
a. Mengusap sepatu dalam berwudhu ditetapkan berdasarkan As Sunnah yang shahih. Hal ini disepakati oleh empat imam madzhab dan mayoritas ulama lain. Di antara hadits yang membahas hal ini adalah:
• Hadits Al Mughirah bin Syu’bah ra berkata: saya pernah bersama Rasulullah saw yang sedang berwudhu, kemudian segera aku hendak melepas sepatunya. Beliau bersabda: Biarkan (jangan dilepas) karena aku memakainya dalam keadaan suci, kemudian ia mengusapnya”. Muttafaq alaih
• Hadits Jabir bin Abdullah AL Bajali ra bahwasannya ia kencing kemudian berwudhu dan mengusap sepatunya. Ada yang bertanya kepadanya: kamu lakukan ini? Ia menjawab: Ya. Aku menyaksikan Rasulullah saw buang air kecil, kemudian wudhu dan mengusap sepatunya.
b. Hukumnya
• Syarat diperbolehkan mengusap sepatu dalam berwudhu adalah: Memakainya dalam keadaan suci, seperti yang disebutkan dalam hadits Al Mughirah di atas
• Kedua sepatu itu dalam keadaan suci, sebab jika ada najisnya maka tidak sah shalatnya
• Menutup sampai ke mata kaki, demikianlah sepatu yang dikenakan dan diusap Rasulullah saw
c. Yang membatalkannya
• Habisnya masa pengusapan (kecuali menurut Malikiyah yang tidak menghitus batas pengusapan)
• Melepas salah satu sepatu atau keduanya
• Wajib mandi karena junub atau sejenisnya. Seperti hadits Shafwan bin Assal yang disebutkan: “Agar tidak melepas sepatu selama tiga hari tiga malam, kecuali karena junub”. HR An Nasa’iy, At Tirmidziy dan Ibnu Huzaimah.
• Semua yang membatalkan wudhu

Jika sudah selesai masa pengusapan atau terlepasnya sepatu, dan dalam keadaan berwudhu maka ia cukup membasuh kakinya saja. Demikian menurut madzhab Hanafi dan Syafi’iy, karena bersambung dalam berwudhu menurut mereka adalah sunnah. Sedang menurut madzhab Maliki dan Hanbali, wajib mengulang wudhu secara keseluruhan karena bersambung dalam wudhu menurut mereka hukumnya wajib

d. Tempat Pengusapan adalah bagian atas sepatu tanpa ada pembatasan. Seperti dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah wa: “Aku melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas sepatunya”. HR Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidziy
e. Batas waktu pengusapan, bagi orang yang mukim (tidak bepergian) sehari semalam, dan bagi musafir tiga hari tiga malam, seperti dalam hadits Ali ra: “Rasulullah saw memberikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi muqimin, dalam mengusap sepatu. HR Muslim.

8. MENGUSAP ALJAURA (kaos kaki)
Hukum mengusap kaos kaki ditetapkan dalam As Sunnah. Diantaranya adalah:
• Hadits Al Mughirah bin Syu’bah: Bahwasannya Rasulullah saw berwudhu dan megusap dua kaos kaki dan sandalnya”. HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi yang mengatakan hadits ini hasan shahih (Hadits Abu Musa Al Asy’ariy yang meriwayatkan seperti teks hadits di atas. HR Ibnu Majah. )
• Hukum pembolehkan mengusap kaos kaki diriwayatkan oleh banyak sahabat, diantaranya adalah: Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Ammar bin Yasir, Bilal, Al Barra’ bin Azib, Abu Umamah, Sahl bin Sa’d, Amr bin Huraits dan Sa’d bin Abi Waqas.
• Madzhab Hanafi dan Hanbali memperbolehkannya. Sedang madzhab Syafi’iy memperbolehkannya dengan syarat kaos kaki itu dapat diapai untuk berjalan.
• Kebolehan mengusap kaos kaki ini hukum-hukumnya seperti yang ada pada hukum mengusap sepatu.


9. MENGUSAP AL JABIRAH

Al jabirah adalah pembalut tubuh yang terluka. Jika membasuh organ tubuh yang sakit dalam wudhu membahayakan atau sakti, atau terhalang oleh pembalut luka itu, maka pembasuhan itu diganti dengan penusapan di atas pembalut itu. Hal ini berdasrkan hadits Tsauban ra berkata: Rasulullah saw mengutus satu pasukan sariyah (ekspedis perang) lalu mereka menghadapi musim dingin. Maka ketika mereka bertemu Nabi Muhammad saw, mereka mengadukan dingin yang menimpanya, dan Rasulullah menyuruhnya mengusap pembalut lukanya dan sepatunya. HR Ahmad, Abu Daud, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak, sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzhabiy
Mengusap pembalut luka ini batal jika dilepas, atau sembuh lukanya.


II. TAYAMMUM

1. TA’RIF

Tayammum adalah menggunakan tanah yang suci, dengan cara tertentu disertai dengan niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah: …. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.QS. An Nisa: 43. tayammum dapat menggantikan wudhu dan mandi.

2. SEBAB KEBOLEHAN TAYAMMUM

Sebab utama diperbolehkan tayammum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah: … kemudian kamu tidak mendapat air (QS. An Nisa: 43) Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmiy, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:
a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dialakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat, atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi. Sedang menurut madzhab Syafi;iy dan Hanbali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.

Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dubutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayammum dan menyimpan air untuk minumnya.

b. Ketiadaan Hukmiy: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash ra shalat subuh dengan tayammum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. HR Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban, Al Bukhari memberikan catata hadits ini, Al Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya.
Air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.

c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayammum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut madzhab Malikiy, wajib mengulang menurut madzhab Hanafiy. Tidak boleh tayammum meskipun kehabisan waktu menurut madzhab Hanbali dan Syafi’iy

3. TANAH SEBAGAI ALAT TAYAMUM

Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayammum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut madzhab Syafi’iy, tayammum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.

4. CARA TAYAMMUM

Seorang yang hendak bertayammum berniat dahulu, kemudian membaca basamalah, lalu memukulkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir ra berkata: Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajah. Muttafaq alaih. Demikianlah madzhab Hanbali dan Maliki. Sedangkan dalam madzhab Hanafi dan Syafi’iy, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawiy, penulis kitab Al Majmu’ Syarah AL Muhadzdzab, dan Ash Shan’aniy penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermadzhab Syafi’iy

5. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN DENGAN TAYAMMUM

Tayammum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayammum itu diperbolekan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, sepeti: Shalat, thawaf, memegang mushaf. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayammum dapat shalat dengan tayammumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayammum. Sedangkan menurut madzhab Syafi’iy tayammum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.

6. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN TAYAMMUM
Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayammum. Tayammum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayammum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya . Sedangkan orang yang tayammum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.


Catatan : Tulis hikmah mudhu dan tayamum

Tidak ada komentar: