Kamis, 19 Juni 2008

ADAB TILAWAH

ADABUT TILAWAH


Muqaddimah

Generasi pertama Islam adalah generasi yang dikenal dengan sebutan "generasi Qur'ani". Mereka adalah generasi yang sangat sadar bahwa perubahan besar baru akan terjadi dalam diri mereka ketika mereka berinteraksi secara total dengan Al Qur'an. Tentu saja interaksi total baru dapat dilakukan ketika mereka memiliki tashawur (persepsi) yang utuh (kamil) dan jelas (wadhih) tentang Al Qur'an. Bagi mereka Al Qur'an adalah pedoman hidup mereka yang sangat mereka sadari bahwa al Qur'an merupakan karunia yang amat besar yang diberikan Allah kepada mereka setelah mereka mendapatkan karunia Islam. Al Qur'an lah yang merupakan kitab yang mereka jadikan guide line (Marja') hidup mereka. Sayyid Qutb mengatakan:

…. Al Qur'anlah satu-satunya sumber tempat pengambilan mereka, standard yang menjadi ukuran mereka dan tempat dasar mereka berpikir. Hal itu terjadi bukan karena manusia di zaman itu tidak mempunyai peradaban, atau pengetahuan, atau ilmu, atau buku, atau studi. Bukan! Waktu itu ada kebudayaan Romawi, pengetahuan, buku dan hukum Romawi, yang sampai sekarang masih dihayati di Eropa, atau kelanjutannya masih dihayati Eropa. Juga terdapat bekas-bekas peninggalan peradaban, logika, falsafat, dan kesenian Yunani kuno. Dan sampai sekarang masih tetap merupakan sumber pemikiran Barat. Juga ada peradaban Persia, dengan seninya, sasteranya, dongengnya, kepercayaannya dan juga sistem pemerintahannya…..

Di bagian lain Sayyid Qutb mengatakan:

…. Generasi pertama itu, memandang Al Qur'an bukan untuk tujuan menambah pengetahuan atau memperluas pandangan. Bukan untuk tujuan menikmati keindahan sasteranya, dan menikmati rasa nikmat yang ditimbulkannya. Tidak ada di antara mereka yang mempelajari Al Qur'an untuk menambah perbendaharaan ilmu hanya karena ilmu saja. Bukan untuk menambah perbendaharaannya dalam masalah ilmu pengetahuan dan ilmu fiqh. Sehingga otak mereka menjadi penuh.

Mereka mempelajari Al Qur'an untuk menerima perintah Allah tentang urusan peribadinya, tentang urusan golongan dimana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dihidupinya, ia dan golongannya. Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis sebagaimana perajurit di lapangan menerima "perintah harian"nya untuk dilaksanakan segera setelah diterima.

Wajar saja jika kemudian generasi pertama itu merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Al Qur'an. Kesadaran dan pemahaman yang benar terhadap Al Qur'an itu membuat mereka tidak mau melepaskan hubungan diri dengan Al Qur'an.

Di antara cara mereka berhubungan dengan Al Qur’an adalah dengan membacanya. Bagi mereka membaca adalah kebutuhan. Membaca al Qur’an tidaklah sama dengan membaca kitab lainnya.

Adab-adab

Oleh karena al Qur’an adalah kalamullah, maka dalam membacanya harus dengan memperhatikan beberapa persyaratan yang harus dilakukan. Di antaranya harus melakukan persyaratan ruhiyah dalam membacanya. Di antara persiapan ruhiyah yang harus dilakukan adalah:
1. Memahami sumber firman; memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk dalam menurunkan al Qur’an dari ‘Arsy kemuliaan-Nya ke derejat pemahaman makhluk-Nya.
2. Ta’zhim (mengagungkan mutakallimin {Allah}); seorang pembaca harus menghadirkan dalam hatinya keagungan Allah (al-Mutakallimin), dan mengetahui bahwa apa yang dibacanya bukanlah pembicaraan manusia. Dan untuk membaca kalam Allah merupakan hal yang sangat penting. Allah berfirman “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (al-Waqi’ah,:79). Harus diketahui bahwa ta’zimul kalam sama dengan ta’zimul mutakallimin. Sementara keagungan mutakallimin tidak akan bisa terhadirkan selagi tidak terpikirkan sifat-sifat, kemuliaan, dan amal perbuatan-Nya.
3. Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Dalam surat Maryam,:12 dikatakan “Wahai Yahya, ambillah kitab dengan kekuatan”. Adapun makna al Quwwah adalah dengan konsentrasi penuh, sungguh-sungguh dan serius. Oleh karenanya seseorang dalam membaca al Qur’an haruslah dengan konsentrasi, sungguh-sungguh, dan serius. Itulah sebabnya dalam mengawali membaca al Qur’an seseorang dianjurkan untuk isti’azah.
4. Tadabbur. Menurut Sa’id Hawwa, tadabbur yaitu sesuatu di luar ‘kehadiran hati’, karena bisa jadi ia tidak berpikir tentang selain al Qur’an tetapi hanya mendengarkan al Qur’an dari dirinya sendiri padahal ia tidak mentadabburinya. Untuk tadabbur, disunnahkan dalam membaca al Qur’an dengan tartil. Sebab dengan tartil secara zhahir akan memungkinkan tadabbur dengan batin. Ali ra berkata
لا خير فى عبادةٍ لا فقه فيها ولا فى قراءة لا تدبر فيها
yang artinya “tidak ada kebaikan pada ibadah yang tanpa pemahaman di dalamnya dan tidak ada kebaikan dalam tilawah yang tidak ada tadabbur di dalamnya.”
Untuk melakukan tadabbur seseorang dapat membaca satu ayat berulang-ulang.
5. Tafahum (memahami secara mendalam). Maksudnya adalah mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat. Ibn Mas’ud pernah mengatakan “Barangsiapa menghendaki ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian maka hendaklah ia mendalami al Qur’an.”
6. Meninggalkan hal-hal yang dapat mengurangi pemahaman. Oleh karena seseorang tidak dapat memahami makna al Qur’an karena beberapa sebab dan penghalang yang dipasang syetan di dalam hati mereka; sehingga mereka tidak dapat memahami berbagai keajaiban rahasia al Qur’an. Adapun penghalang dimaksud adalah pertama, perhatiannya tertuju pada penunaian bacaan huruf-hurufnya saja, sehingga perenungannya hanya terbatas pada makharijul huruf. Hal ini menyulitkannya untuk mengungkap makna-maknanya; kedua taqlid kepada mazhab yang didengarnya, terpaku dan fanatik padanya, sehingga hanya mengikuti apa yang didengarnya tanpa berusaha memahami dengan bashirah dan musyahadah; ketiga, terus menerus dalam dosa dan sombong atau secara umum terjangkiti penyakit syahwat. Tentu saja ini menimbulkan karat hati yang tebal sehingga sulit baginya menerima hidayah; keempat, karena telah membaca “tafsir zhahir” dan meyakini tidak adanya makna lain kecuali apa yang sudah disebutkan oleh para imam Tafsir seperti Ibn Abbas, Mujahid dan semisalnya. Kemudian meyakini bahwa orang di luar itu sebagai penganut tafsir bi al ra’yi, sementara orang yang menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri (hawa nafsunya) adalah salah dan tempatnya adalah neraka. Tentu saja ini mempersulit bagi pembaca al Qur’an (khususnya pemula) untuk mencoba merenungkan makna al Qur’an.
7. Takhsihsh. Yaitu menyadari bahwa dirinya adalah sasaran yang dituju oleh setiap khitab (nash) yang ada dalam al Qur’an. Muhammad bin Ka’ab al Qurthuby berkata: “Orang yang telah sampai al Qur’an kepadanya sama dengan orang yang diajar bicara oleh Allah”. Apabila telah menyadari hal ini, maka ia tidak hanya mengkaji al Qur’an saja tetapi juga membacanya seperti seorang budak membaca surat tuannya yang ditulis kepadanya untuk direnungkan dan berbuat sesuai dengan isinya.
8. Ta’atsur (mengimbas ke dalam hati). Yaitu hatinya terimbas (terpengaruh) dengan imbasan yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang diyahatinya. Sesuai dengan pemahaman yang dicapainya demikian pula keadaan dan imbasan yang dirasakan oleh hati berupa rasa sedih, takut, harap dan lain sebagainya.
9. Taraqqi. Yakni meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan kalam dari Allah bukan dari dirinya sendiri. Karena derejat bacaan ada tiga:
 Derejat yang paling rendah, yaitu seorang hamba merasakan seolah-olah ia membacanya kepada Allah, berdiri di hadapan-Nya, sementara itu Dia menyaksikan dan mendengarkannya; sehingga dengan gambaran perasaan seperti ini ia dalam posisi selalu memohon, merayu, merendahkan diri dan berdo’a.
 Menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah melihatnya dan mengajaknya bicara dengan berbagai taufiq-Nya, memanggilnya dengan berbagai ni’mat dan kebaikan-Nya; sehingga ia berada dalam posisi malu, ta’zhim, mendengarkan dan memahami.
 Melihat Mutakallimin dalam setiap kalam yang dibacanya, melihat sifat-sifat-Nya dalam kalimat-kalimat yang ada, sehingga ia tidak lagi melihat diri dan bacaannya, juga tidak melihat kepada keterkaitan pemberian ni’mat kepada dirinya bahwa dia telah diberi ni’mat, tetapi perhatiannya terkonsentrasi hanya kepada Mutakallimin, pikirannya tertambat pada-Nya, seolah hanyut dalam menyaksikan Mutakallimin sehingga tidak melihat kepada selain-Nya. Ini merupakan derejat Muqarrabin, sedangkan tingkat sebelumnya adalah derejat ash-habul Yamin. Di luar derejat tersebut adalah derejat al ghafilin.
10. Tabarriy. Melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang kepada dirinya dengan pandangan ridho dan tazkiyah. Misalnya ketika membaca ayat-ayatr janji dan sanjungan pada orang-orang shalih. Perasaannya langsung teringat pada orang-orang yang sudah memperoleh derejat dimaksud, dan ia berharap kepada Allah agar disusulkan oleh-Nya pada derejat dimaksud.

Itulah beberapa persiapan ruhiyah yang harus dilakukan para pembaca al Qur’an sebagaimana disebutkan oleh Sa’id Hawwa dalam buku yang berjudul al Mustakhlash Fi Tazkiyatil anfus.

Selanjutnya adalah adab yang berkaitan dengan zhahiriyah si pembaca. Dalam hal ini seorang pembaca harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan kondisi pembaca. Dimana dia harus dalam keadaan berwudhu’. Dalam membaca al Qur’an dapat dilakukan dengan duduk, menghadap qiblat dan menundukkan kepala; dengan tidak bersila, tidak bertelekan dan tidak duduk dalam keadaan sombong. Duduknya sendirian, seperti duduk di hadapan guru yang berwibawa.. Seutama-utama membaca al Qur’an adalah membacanya ketika berdiri (dalam sholat) di dalam masjid. Membacanya pada saar qiyamul lail lebih utama ketimbang pada siang hari. Hal ini karena pada malam hari pikiran dalam keadaan sangat bebas (dari urusan-urusan lain).
2. Berkenaan dengan banyaknya jumlah bacaan. Di antara yang dianjurkan dalam membacanya adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadist Rasulullah saw yang berbunyi “Barangsiapa yang membaca al Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari, maka ia tidak memahaminya.” Hadits tersebut menunjukkan bahwa membaca al Qur’an secepat-cepatnya adalah tiga hari untuk sekali khatam. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin Imam al Ghazali menegaskan bahwa Nabi saw memerintahkan Abdullah ibn ‘Amr ra untuk menyelesaikan (mengkhatam) Al Qur’an dalam waktu tujuh hari. Demikian juga sekelompok sahabat menkhatamkan al Qur’an pada tiap hari Jum’at seperti Ustman, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab ra. Dalam mengkhatam al Qur’an itu ada empat macam tingkatan, yaitu:
• Khatam dalam sehari semalam, ini dimaksudkan oleh sekelompok ulama
• Khatam dalam setiap bulan, setiap hari satu juz
• Dalam satu minggu sekali khatam
• Dalam satu minggu dua kali khatam, kurang lebih tiga hari..
3. Mengenai segi pembagian. Maksudnya adalah pola pembagian al Qur’an menjadi beberapa bagian untuk memudahkan dalam pembacaan. Seperti misalnya Ustman bin ‘Affan ra yang membaca pada malam Jum’at surat al Baqarah sampai surat al Maidah, pada malam Sabtu membaca surat al An’am sampai surat Hud, malam Ahad membaca surat Yusuf sampai surat Maryam, malam Senin membaca surat Thaha sampai Tha Sin Min Musa dan Fir’aun . Malam Selasa membaca surat al Ankabut sampai surat Shad, malam Rabu membaca surat as Sajdah sampai surat ar Rahman, Malam kamis ia menyelesaikan sisanya.
4. berkenaan dengan Tulisan. Hendaklah dipilih mushaf yang memudahkan dalam membacanya, khususnya dalam masalah khat. Sebaiknya dipilih yang bagus, tajam dan jelas. Dianjurkan pula tidak membaca mushaf yang masih asing khotnya.
5. Membaca dilakukan dengan perlahan dan jelas (Tartil). Ibn Abbas mengatakan: “Sungguh, membaca al Baqarah dan Ali Imran dengan tartil lebih saya sukai daripada membacanya secara keseluruhan dengan cepat. “ Iapun mengatakan “Membaca Idzadzulzilat.. dan al Qari’ah dengan tartil lebih aku sukai ketimbang membaca al Baqarah dan Ali Imran dengan cepat.” Harus diketahui bahwa disunnatkan tartil dalam membaca al Qur’an oleh karena lebih memudahkan perenungan terhadapnya dan lebih mudah memberikan ke dalam hati.
6. Menangis. Rasulullah saw bersabda “Bacalah al Qur’an dan menangislah, jika kamu tidak menangis, maka paksalah dirimu untuk menangis.” Dalam kesempatan lain dikatakan “Sesungguhnya al Qur’an itu diturunkan dengan kesedihan, maka bila kamu membacanya maka bersedihlah kamu.” Ibn Abbas berkata “Jika kamu membaca Sajdah Sunhana, maka janganlah kamu tergesa-gesa sujud sehingga kamu menangis. Jika mata salah seworang kamu tidak menangis maka hendaklah hatimu menangis. Sungguh jalan membebankan diri untuk menangis adalah dengan jalan hatinya mendatangkan kesedihan, dari sedih itu timbullah tangis.”
7. Memenuhi hak ayat-ayat al Qur’an yang dibaca. Maksudnya adalah ketika ia menjumpai ayat yang membutuhkan sujud, maka hendaklah ia sujud. Atau ketika membaca ayat-ayat azab segera mohon perlindungan kepada Allah, dan ketika membaca ayat-ayat nikmat memohon kepada Allah agar iapun diberikan nikmat tersebut.
8. Berkenaan dengan doa sebelum dan sesudah membaca al Qur’an. Di awal bacaan hendaklah dibaca:
اعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم, رب اعوذبك من همزات الشياطين و اعوذبك رب ان يحضرون
“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi maha Melihat, dari godaan syetan yang terkutuk, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bisikan syetan dan dari kedatangannya kepadaku.”

Selanjutnya pembaca dianjurkan membaca surat Muawwadzatain dan al Fatihah. Sementara pada saat menutup bacaan dianjurkan untuk membaca:

صدق الله تعالى و بلّغ رسولالله صلعم اللهم انفعنا به و بارك لنا فيه الحمد لله رب العالمين و استغفراللهَ الحيَّ القيُّوْمَ
“Maha Benar Allah, Yang Maha Tinggi atas Firman-Nya dan yang mengutus Rasul Saw kepada kami, Ya Allah berilah manfaat dan keberkahan dengan al Qur’an ini kepada kami. Segala puji sanjung bagi Allah, Tuhan semesta alam, aku memohgon ampun kepada Allah yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).”
9. Berkenaan dengan mengeraskan bacaan Al Qur’an. Dianjurkan dalam membaca agar terdengar, minimal oleh si pembaca sendiri. Seedangkan tentang bacaan yang sampai didengar orang banyak, terdapat perbedaan dalam menyikapinya. Jika bacaan dengan maksud mendapatkan pujian orang banyak, tentu sangat dilarang karena dapat menjadi riya. Namun jika tanpa riya, di dalamnya bukan tidak mungkin terdapat kebaikan, di antaranya adalah:
a) Dengan bacaan yang keras akan dapat melibatkan aktifitas lain yang lebih banyak
b) Manfaatnya juga bisa diambil oleh orang lain
c) Bacaan keras akan mampu membangkitkan hati pembaca sendiri, dan menyatukan perhatiannya untuk merenungkan makna-makna al Qur’an serta mengarahkan pendengaran kepada bacaan
d) Dapat menghalau kantuk dan mengangkat suara
e) Dapat menambah semangat dan mengurangi malas
f) Bisa membangunkan orang yang sedang tidur
g) Dapat membangkitkan semangat orang yang semula hanya mendengar atau melihat.

10.Membaguskan dan mentartil bacaan dengan cara mengulang-ulang suara tanpa pemanjangan yang keterlaluan dan tanpa merubah susunan. Rasulullah saw bersabda: “Hiasilah al Qur’an dengan suaramu”. Beliau Saw juga bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang tidak melagukan al Qur’an.”

Itulah beberapa adab lahir yang selayaknya dilakukan oleh para pembaca al Qur’an yang menginginkan mendapat pahala dan manfaat darinya. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk membaca al Qur’an dengan sebenar-benarnya.

MARAJI
Imam, An Nawawi, Kitab Riyadhus shalihin, Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, At tibyan fi adab hamalatil Qur'an Sayyid Quthb, Mukadimah Zhilal, Bahi Al Khuli Tadzkiratud Du'ah,

Tidak ada komentar: