Selasa, 04 November 2008

Bahagiakan Suami Dan Anak Kita

Bahagiakan Suami Dan Anak Kita
Oleh : Indah Prihanande


Seorang bapak menghubungi pengisi acara konsultasi keagamaan, yang diselenggarakan oleh stasiun radio kegemaran saya. Suaranya tenang. Nyaris tak tersirat bahwa dia sedang diterpa masalah cukup pelik. Menurut bapak penelepon itu, beliau baru saja bercerai dari sang istri. Sebab, sang istri tak bisa menerima keterbatasannya dalam memenuhi nafkah materi secara sempurna. “Sekarang isteri saya sudah menikah lagi.” ujarnya disela-sela pembicaraan. Waktu pengisi acara bertanya bagaimana perasaannya, secara manusiawi beliau tentu merasa sakit hati. Namun kemudian bapak itu menambahkan, bahwa sekarang dia tak mau berlarut-larut dalam kekecewaan yang terlampau lama.

Ternyata anak perempuan kecilnya yang semata wayang, memilih untuk tinggal bersama sang bapak. Dia enggan jika harus tinggal dalam pengasuhan ibu atau bapak tirinya. Maka itulah, bapak penelepon itu begitu bersemangat untuk menempuh masa depan kehidupannya, dengan meminta saran dari pengisi acara konsultasi agama. Ia bertekad sekuat tenaga mengasuh anak semata wayangnya dengan baik. “Bagi saya kehilangan isteri tidaklah seberapa, jika dibandingkan kehilangan buah hati saya.” begitu dipaparkannya.

Penulis terenyuh dan terharu mendengar penuturan bapak itu. Maka penulis mulai merenung dalam : gerangan apa yang membuat hubungan anak dan bapaknya menjadi sedemikian erat, hingga menyanggah mitos bahwa anak kecil cenderung lebih membutuhkan kehadiran sang ibu? Apakah jalinan yang telah mengeratkan hati sang ayah dengan anaknya, hingga sang anak mampu menentukan pilihannya diluar kebiasaan umum?

Banyak kemungkinan yang menyebabkan seorang bapak bisa lebih dekat dengan sang anak, ketimbang sang anak terhadap ibunya. Mungkin sebab ibunya lebih cerewet, sementara sang bapak justru tak pernah mengomeli anaknya sama sekali. Atau, bisa saja sebab sang bapak memiliki tutur kata halus, sedang sang ibu justru malahan kerap berbicara kasar terhadap sang anak. Namun kesimpulan penulis, tampaknya sang bapak jauh lebih bisa memberikan perhatian dan senantiasa bersabar menghadapi anaknya yang masih balita. Padahal, pada usia tersebut sang anak biasanya kerap menyusahkan dan berbuat ulah. Sang ayah lebih mengerti bagaimana memperlakukan sang anak, ketimbang ibu yang telah mengandung dan melahirkannya.

Setelah menyimak penuturan bapak penelepon acara konsultasi agama pada frekwensi favorit, juga merenungkan hikmah dibalik semangat dan kedekatannya dengan sang buah hati, penulis berpikir, inilah saatnya untuk kembali menata sekaligus berbenah diri. Mencoba mengevaluasi kembali hari- hari terakhir yang penulis lewati dengan sang buah hati. Adakah sebagai seorang ibu, penulis masih istiqamah memupuk rasa cinta terhadap suami dan anak tercinta melalui pengabdian yang tulus dan ikhlas? Adakah pada hari-hari terakhir ini penulis kerap bersikap kurang sabar atau malah kerap mengomeli anak atau mengacuhkan suami? Lantas, adakah hanya karena kejenuhan saja, penulis suka melarang anak bebas beraktifitas atau bereksplorasi sesuai jiwa kanak-kanaknya?

Ya. Mungkin penulis, atau barangkali pembaca pernah merasa khawatir, kalau-kalau lantai yang sudah dipel atau ruangan yang baru dibenahi bisa berantakan, sehingga menghalangi anak-anak kita memenuhi kebutuhan pokok masa kecilnya, yaitu : bermain. Tampaknya, kita kaum ibu jangan sampai lalai menyemangati diri, untuk berlaku baik terhadap anak dan suami. Mari charge ulang jiwa dan raga kita, sehingga siap menghadapi hari-hari berumahtangga dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan istiqamah mencari ridla-Nya. Bukankah kaum ibupun bisa menjadi mujahid yang kokoh, kuat, produktif dan berakhlak terpuji, melalui pengabdian tulusnya dalam berumahtangga. Untuk itu, mari kita bahagiakan anak dan suami kita.

Menjelang Pagi, Jakarta, 27-07-2005

Tidak ada komentar: