Minggu, 11 Januari 2009

Kajian Tafsir Juz 30
Tafsir Surat ‘Abasa (80)


Muqoddimah
Surat ‘Abasa (ia bermuka masam) terdiri dari 42 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan setelah surat An-Najm (53). Dinamai “Abasa” diambil dari perkataan ‘Abasa yang terdapat pada ayat pertama surat ini [1].
Hubungan surat ‘Abasa dengan surat An-Nazi’at adalah: pada akhir surat An-Nazi’at diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW hanyalah pemberi peringatan kepada orang-orang yang takut kepada hari kiamat (79:45), sedangkan pada permulaan surat ‘Abasa dibayangkan bahwa dalam memberikan peringatan itu hendaklah memberikan penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat [1].
Tentang garis besar isi surat ‘Abasa, Asy-Syahid Sayyid Quthb berkomentar [2]:
“Surat ini terbagi kedalam beberapa potongan (bagian) yang besar, sentuhan yang mendalam, image dan sugesti serta kesan-kesan yang unik, memberi inspirasi harmonis dalam irama dan nada musik yang sama. Potongan pertama merupakan obat dengan khasiat tertentu terhadap suatu peristiwa sejarah.
Nabi Muhammad SAW sibuk mengurusi da’wah, mengajak tokoh-tokoh Quraisy kedalam Islam ketika Ibnu Ummi Maktum, seorang laki-laki buta yang miskin itu, datang kepadanya. Laki-laki itu tidak tahu kalau Nabi sedang sibuk dengan urusan ummat. Ia datang memohon kepada Nabi agar mengajarinya ilmu agama. Maka Nabi tidak menyukainya dan bermuka masam serta memalingkan wajahnya. Allah menurunkan al-Qur’an pada bagian pertama surah ini mengecam keras akan sikap Nabi, serta menetapkan nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat Islam secara tegas merangsang, di samping itu juga menetapkan hakikat karakteristik da’wah ini (ayat 1 – 16).
Potongan kedua untuk mengobati keingkaran manusia, kekafiran dan kejahatannya terhadap Tuhannya. Allah mengingatkan kepada manusia siapa yang mewujudkan dirinya, asal kejadiannya, kemudahan hidupnya, kekuasaan Tuhannya untuk mematikan dan membangkitkannya kembali, kemudian kelalaiannya dalam melaksanakan perintahNya (ayat 17 – 23).
Potongan ketiga menyinggung tentang kecenderungan hati manusia terhadap kebutuhan hidupnya, yaitu makanan dan minumannya, serta makanan dan minuman binatang ternaknya. Di balik itu mengenai ketentuan serta kekuasaan Allah yang mengatur dan mengurus makanannya itu sebagaimana mengatur dan mengurus kejadian dirinya (ayat 24 – 32).
Potongan yang paling akhir menoleh kepada sifat “sangkakala” pada hari ditiupkan suaranya yang memakakkan telinga, dan menakutkan itu. Kata-katanya jelas seperti pengaruhnya yang nampak di dalam hati manusia yang kebingungan, lupa terhadap lainnya dan kepada wajah-wajah yang menunjukkan kedurhakaannya (ayat 33 – 42).
Masing-masing potongan surat ini dan ayat-ayatnya yang diketengahkan membangkitkan perasaan yang membekas di dalam jiwa.
Itulah di antara kekuatan dan kedalamannya, di mana hati dapat dipengaruhinya hanya dengan sekali sentuh saja. Di sini kami berusaha untuk menyingkapkan tentang beberapa aspek dari jangkauan yang jauh, yang kadang-kadang tidak dapat dicapai hanya dengan pandangan pertama.”





Tafsir Ayat 1 – 16 [3]
1. Asbabun Nuzul surat ‘Abasa
Banyak versi dalam menyebutkan sebab turunnya surat ‘Abasa, tetapi semua sepakat bahwa surat ini diturunkan berkaitan dengan seorang sahabat yang buta Abdullah bin Ummi Maktum. Pada suatu hari Rasulullah SAW sedang berbicara dengan para pembesar Quraisy, di antaranya Ubay bin Khalaf (menurut Abu Ya’la), Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthallib (menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim). Beliau SAW ingin sekali agar mereka masuk Islam. Saat beliau berkhutbah dan mengajak mereka kepada kebenaran, tiba-tiba datang Abdullah bin Ummi Maktum—seorang yang telah lama masuk Islam—berdiri di hadapan beliau lalu bertanya tentang sesuatu dan ia mengulang-ulang pertanyaannya kepada Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW menginginkan seandainya Ibnu Ummi Maktum tidak bertanya agar beliau berkesempatan untuk meneruskan khutbahnya kepada para pembesar Quraisy karena beliau amat bersemangat dalam memberi petunjuk kepada mereka. Maka saat itu beliau bermuka masam terhadap Ibnu Ummi Maktum, dengan berkata, “Tahukah kamu behwa apa yang aku katakan ini amat penting?” (menurut hadits Aisyah ra) dan berpaling darinya lalu menghadap kepada yang lain. Maka diturunkanlah surat ini. Setelah itu Nabi SAW selalu menghormatinya.

2. Langkah-langkah Operasional Da’wah
Dari sini Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk tidak memberi pengkhususan kepada seseorang dalam memberikan peringatan. Beliau harus bersikap sama dalam berhadapan dengan orang yang mulia dan lemah, terhadap fakir dan kaya, pembesar dan rakyat jelata, pria dan wanita, yang kecil dan besar. Allah SWT memberi petunjuk kepada yang Dia kehendaki kepada jalan yang memuaskan.

Para ulama da’wah mengarahkan kepada kita lima langkah operasional da’wah agar da’wah mencapai keberhasilannya yang gemilang, yaitu [4]:
o Komunikasi/kontak dengan berbagai individu (personal) atau الإتّصال بالأفراد
o Pemilihan personal (إختيارالأفراد)
o Pembinaan personal (تربية الأفراد)
o Pengarahan personal (توجيه الأفراد)
o Penataan personal (تنظيم الأفراد)
Ketika berkomunikasi, tidak dibatasi kepada siapapun, bahkan kepada non-muslim sekalipun kita lakukan komunikasi. Akan tetapi, ketika kita melakukan pemilihan personal maka kriteria pertama dan utamanya adalah “mau menerima perubahan (قابل التغيير) atau hanif”, baru kriteria “sebagai unsur perubahan (عناصر التغيير) atau tokoh”. Abdullah bin Ummi Maktum, mungkin dipandang sebelah mata oleh umumnya para da’i, karena beliau buta (ayat 1): tidak potensial! Tetapi beliau adalah seorang yang mau menerima perubahan:
 Datang sendiri (ayat 2)
 Datang dengan bersegera (ayat 8)
 Ingin membersihkan dirinya dari dosa (ayat 3)
 Ingin mendapatkan pengajaran, sehingga bisa menjauhkan dirinya dari perbuatan haram (ayat 4)
 Takut kepada Allah, mengikuti petunjuk (ayat 9)
Sedangkan para tokoh Quraisy itu:
 Merasa dirinya sudah cukup dengan harta dan kekuasaannya (ayat 5)

Di kemudian hari, katika Perang Uhud, beliau SAW menempatkan Ibnu Ummi Maktum sebagai penanggung jawab kota Madinah terutama sebagai imam shalat jama’ah [5], juga sebagai muadzin di samping Bilal. Rasulullah SAW bersabda, “Jika Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum” (HR. Bukhori). Salim berkata: ia tidak mengumandangkan adzan hingga orang-orang melihat terbitnya fajar lalu mereka berkata kepadanya adzan-lah.

3. Al-Qur’an sebagai Peringatan
Sikap lebih mengutamakan tokoh dan melupakan “orang rendahan” adalah terlarang (ayat 11). Karena sesungguhnya al-Qur’an itu peringatan untuk siapa saja. Siapa yang menghendaki, tentulah ia akan memperhatikan al-Qur’an (ayat 11-12). Al-Qur’an adalah:
 Lembaran-lembaran yang dimuliakan (ayat 13)
 Yang ditinggikan, memiliki derajat yang tinggi (ayat 14)
 Yang disucikan, terhindar dari cacat, penambahan dan pengurangan (ayat 14)
 Di tangan safarah (ayat 15):
o Para malaikat (Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid)
o Para sahabat Nabi SAW (Wahhab bin Munabih)
o Para penghafal al-Qur’an (Qatadah), yang menulis di dalam hati mereka (Ibnu Abbas dan Ibnu Jarir)
o Para malaikat yang menghubungkan Allah dengan makhlukNya (Ibnu Jarir dan Al-Bukhari). Dari sinilah terambil kata “as-safir” yang berarti duta (utusan) yang berusaha menjembatani hubungan antara manusia untuk kebaikan dan kedamaian
Akhlak safarah itu mulia dan berbakti (ayat 16): maka selayaknya para penghafal al-Qur’an itu bersikap baik dan menjadi teladan dalam kata-kata serta perbuatan mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang membaca al-Qur’an dan ia mahir, maka ia akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan orang yang membaca al-Qur’an sementara ia mendapatkan kesulitan, maka baginya dua pahala.” (HR. Jama’ah). Siapakah orang yang “mahir” itu? Ustadz Yusuf Supendi [6] menyebutkan kriterianya:
o Membaca al-Qur’an dengan kaidah Tajwid
o Mengerti dan faham isi kandungan al-Qur’an
o Mengamalkan kandungan al-Qur’an
o Hafal al-Qur’an 30 juz


Tafsir Ayat 17 – 32 [3]
Selanjutnya, kembali Allah SWT membicarakan tentang hari akhir, yakni hari kebangkitan. Binasalah manusia: Apakah yang menjadikan seseorang itu kafir atau dusta kepada hari kebangkitan? (Al-Baghwani dari Muqatil dan al-Kalby) Sungguh alangkah terlaknatlah ia (Qatadah), ia adalah jenis manusia pendusta karena banyaknya ia melakukan kedustaan tanpa memiliki sandaran, bahkan ingin menjauhi kebenaran tanpa didasari pengetahuan (Abu Malik).
Allah SWT memberikan argumentasi dengan dua hal: penciptaan manusia (ayat 18-23) dan makanan yang dimakan manusia (ayat 24-32).
Dari apakah manusia diciptakan? Dari setetes air mani yang hina (77:20). Allah menciptakannya melalui tahapan-tahapan yang rumit: 250 juta sel sperma memancar dari sulbi laki-laki tapi yang berhasil bertemu dengan sel telur dari taraib perempuan hanya satu sel saja [8] lalu Allah menentukan ajalnya, rizkinya, perbuatannya dan baik-buruknya sebagaimana disebutkan dalam hadits ke-4 Arba’in An-Nawawi [7]. Kemudian Allah memudahkan jalannya (ayat 20):
o Memudahkan untuk keluar dari perut ibunya (Al-Aufi dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh-dahhak, Abu Shaleh, Qatadah dan As-Saddi)
o Sama dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (76:3). Ini pendapat Mujahid, Al-Hasan dan Ibnu Zaid; ini pendapat yang kuat
Kemudian manusia mati dan dikuburkan serta membangkitkannya setelah kematian (ayat 21-22) sebagaimana disebutkan juga dalam surat 30:19-20 dan 2:259 (kisah tentang Nabi Uzair as atau Nabi Khidir as yang melewati Baitul Maqdis setelah dihancurkan oleh Bukhtanasar dan semua penduduknya dibunuh lalu salah seorang dari mereka, yakni Hizqil bin Bawar, dihidupkan lagi setelah mati selama 100 tahun [9]). Rasulullah SAW bersabda: “Tanah akan memakan seluruh bagian tubuh manusia kecuali tulang di bagian belakang dari tulang punggungnya,” para sahabat bertanya, “Bagaiamanakah bentuk dari tulang itu ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Seperti biji sawi dari tulang itulah kalian akan diciptakan kembali.” (HR. Bukhori-Muslim)
Allah SWT menegaskan bahwa manusia belum melaksanakan apa yang diperintahkanNya (ayat 23), maksudnya adalah:
o Orang kafir itu belum melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan kepadanya (Ibnu Jarir)
o Selama-lamanya seorang manusia tidak akan bisa menunaikan seluruh kewajibannya yang dibebankan kepadanya (Mujahid dan Al-Hasan)
o Untuk menghidupkan kembali tidak dilakukan sekarang hingga habis masa yang telah Allah takdirkan bagi manusia, dan Allah telah memerintahkan untuk terlaksananya takdir itu dan jika tiba masa yang ditentukan tersebut maka Allah akan membangkitkan dan mengembalikan manusia kepada bentuk semula (Ibnu Katsir). Telah diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Wahab bin Munabbih, ia berkata, berkata Uzai as: “Telah berkata Raja’ bin Haiwah yang datang kepadaku, ‘Sesungguhnya kuburan itu adalah perut bumi, dan sesungguhnya bumi itu adalah induk dari penciptaan, maka jika Allah menciptakan sesuatu yang Dia kehendaki kemudian sesuatu yang diciptakan itu akan binasa bersamaan dengan habisnya masa para penghuni kubur di dalam kuburnya sesuai dengan waktu yang telah Allah tentukan, bumi akan memuntahkan semua isinya dan kuburan akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya’.”
Kemudian Allah SWT menampilkan argumentasi kedua tentang kebangkitan: makanan yang dimakan manusia yang berasal dari bumi yang tumbuh dari padanya berbagai macam tanaman yang bisa dimakan manusia dan binatang. Allah-lah yang telah menurunkan air, kemudian air itu masuk ke celah-celah biji-bijian yang ada di dalam bumi, lalu biji-bijian (al-habbu) itu tumbuh dan tinggi hingga nampak ke permukaan bumi. Juga ditumbuhkan buah anggur (al-‘inabu), al-qadhbu: makanan binatang (Al-Hasan) atau rerumputan yang biasanya dimakan binatang dalam keadaan basah (Ibnu Abbas, Qatadah, Adh-Dhahhak dan As-saddi), zaitun (kulit yang diperas kemudian air perasannya dapat menjadi minyak untuk lentera) dan nakhlun (korma yang dapat dimakan selagi basah atau kering atau dalam keadaan mentah dimasak kemudian diperas untuk diminum airnya dan sisa perasannya dapat dimakan pula). Allah menciptakan kebun-kebun yang ghulba:
o Tebal dan banyak buahnya (Al-Hasan dan Qatadah)
o Segala sesuatu yang mengelilingi dan berkumpul (Ibnu Abbas dan Mujahid)
o Pohon yang dapat dijadikan tempat berteduh (Ibnu Abbas)
o Kebun-kebun yang pohon-pohonnya besar dan panjang (Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas)
o Pohon yang tebal di tengah-tengahnya (Ikrimah)
Allah menjadikan al-fakihah dan al-abbu. Al-fakihah adalah:
o Segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan dari buah-buahan
o Segala sesuatu yang dimakan dalam keadaan basah (Ibnu Abbas)
o Untuk anak Adam (Mujahid, Al-Hasan dan Qatadah dari Ibnu Zaid)
Sedangkan al-abbu adalah:
o Segala sesuatu yang tumbuh dari bumi yang dimakan hewan dan tidak dimakan manusia (Ibnu Abbas)
o Al-kala’u: rumput basah atau kering (Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Abu Malik)
o Untuk hewan (Mujahid, Al-Hasan dan Qatadah dari Ibnu Zaid)
o Segala sesuatu yang tumbuh di permukaan bumi (‘Atha)
o Segala yang tumbuh di bumi selain buah-buahan (Adh-Dhahhak)
o Tumbuhan bumi yang dimakan manusia (Ibnu Idris)
o Segala sesuatu yang tumbuh dari bumi yang dimakan manusia dan hewan (Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas)
o Rumput basah dan kering serta tempat menggembala hewan (Al-Aufi dari Ibnu Abbas)
Umar bin Khththab ra membaca surat Abasa wa tawalla dan ketika ia sampai pada ayat ini: wa fakihatan wa abba ia berkata, ‘Kami telah mengetahui maksud dari al-fakihah lalu apakah arti al-abb? Maka dijawab, “Wahai putra Al-Khaththab, sesungguhnya inilah yang kemerah-merahan warnanya.” Rupanya ia ingin mengetahui bentuknya, jenis dan zatnya.
Semua tanaman itu adalah untuk manusia dan hewan-hewan ternak yang dimiliki oleh manusia di dunia hingga hari kiamat (ayat 32).


Tafsir Ayat 33 – 42 [3]
Allah SWT di akhir surat ini kembali menceritakan tentang peristiwa kiamat: bagaimana hubungan keluarga manusia dan wajah-wajah manusia di hari itu. Apabila datang ash-shakhkhakh:
o Salah satu nama hari kiamat (Ibnu Abbas)
o Nama dari tiupan sangkakala (Ibnu Jarir)
o Jeritan pada hari kiamat, dinamakan demikian harena suara itu memekakkan telinga karena amat kencangnya hingga dapat membuat telinga menjadi tuli (Al-Baghawi)
Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Ia melihat mereka dan ia menjauh dari mereka karena keadaan saat itu amat menakutkan dan amat menyulitkan. Ikrimah berkata: “Seorang pria berkata kepada istrinya: Wahai istriku, suami macam apakah aku ini? Sang istri berkata: Engkau adalah suami yang baik dan selalu berbuat baik semampumu. Sang suami berkata: Pada hari ini aku minta kebaikan darimu, semoga aku bisa selamat dari apa yang engkau lihat saat ini. Sang istri berkata: Alangkah mudahnya permintaanmu karena aku merasa takut sebagaimana engkau merasa takut.” Begitu pula ia akan bergantung kepada anaknya, tapi anaknya menolaknya. Bahkan seseorang akan menebusnya (agar selamat) dengan anak-anaknya, istri, saudaranya dan kaum familinya serta semua manusia di atas bumi (al-Ma’arij: 11-14). Sesungguhnya pada hari itu tidak bisa saling memberi manfaat (Lukman: 33): anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Juga tidak bisa para Nabi memberi syafaat kepada manusia lainnya, kecuali yang diidzinkan Allah.
Pada hari itu manusia sibuk masing-masing, kesibukan amat sangat sehingga tidak berkesempatan untuk melihat aurat. Pada hari itu manusia dikumpulkan dalam keadaan:
o tidak bersunat
o tidak beralas kaki
o tidak berpakaian
o dibanjiri oleh keringat hingga sampai ke telinga

Pada hari itu manusia terbagi menjadi dua, yang terlihat dari wajah-wajah mereka (ini harmonis dengan awal surat ini yang menceritakan tentang “wajah” Rasulullah):
o Musfirah atau mustanfirah (bercahaya atau berseri-seri), tertawa dan bergembira ria. Itulah para penghuni surga. Ini seperti dalam surat Ali Imran: 107 dan Al-Qiyamah:22-23
o Ghabarah (tertutup debu), menutupi wajahnya yang hitam (juga disebutkan pada 3:106 dan Al-Qiyamah: 24-25). Itulah wajah orang yang kafir lagi durhaka. Kekufuran memenuhi hati mereka dan kemaksiatan mewarnai seluruh perbuatan mereka seperti di ayat lain: “Dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” (71:27)




Maroji’
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
2. Qutb, Sayyid, Fi Zhilaalil Qur’an Juz Amma – Tafsir Di Bawah Naungan Al-Qur’an, H. Bey Arifin & Jamaluddin Kafie (Penerjemah), 1984, Bina Ilmu, Surabaya
3. Ibnu Katsir (Mufassir), Khalid bin Musthafa Salim Abu Shaleh (Muhaqqiq), Farizal Tirmizi (Penerjemah), Tafsir Juz Amma, Penerbit Buku Islam Rahmatan, Cetakan Keenam, November 2004
4. Materi “At-Tashawwur Al-Harakah Al-Islami”
5. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997
6. Catatan Dauroh Al-Qur’an Ma’had Al-Hikmah, Bangka II, Jaksel
7. Al-Bugha, Musthafa, dan Muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam: Syarah Arbain Nawawiyah, Robbani Press, Jakarta, 2002
8. Rasheed, Abdur, Nurcholiq dan Bharata AD, Pengantar Film Pengetahuan Populer Harunyahya Series, Global Cipta Publishing, Jakarta, 2002, halaman 1 – 22
9. Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Ismail, Tafsir Ibnu Kasir Juz 3: Al-Baqarah 253 s.d. Ali Imran 91, Halaman 60-66, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2002





Bojonggede, 24 Maret 2005
Abdul Wahid Surhim

Disampaikan pada acara Kajian Tafsir Juz 30 di Masjid Al-Muhajirin Komplek Gaperi Bojong Gede – Ahad, 27 Maret 2005

Tidak ada komentar: